Pages

Followers

Dapatkan updates dari blog ini..semoga kita semua mendapat manfaat dari apa yang dikongsikan dan ditulis di dalam blog ini....

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

 

Kisah Juraij Seorang Ahli Ibadah dan Ibunya Yang Kecewa


Dari Abu Hurairah, bahawa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah berbicara ketika masih bayi kecuali tiga orang, di antaranya: Isa bin Maryam dan seorang bayi yang ada pada zaman Juraij.

Juraij adalah seorang laki-laki ahli Ibadah, dia membangun sendiri tempat ibadahnya. Ceritanya, pada suatu hari di saat ia sedang solat ibunya memanggil, 'Wahai Juraij.' Juraij berkata, 'Ya Rabbi, apakah akan saya jawab panggilan ibuku atau aku meneruskan solatku?' Juraij meneruskan solatnya. Lalu ibunya pergi.

Keesokan harinya, Ibu Juraij datang ketika ia sedang solat lagi. Sang Ibu memanggil, 'Wahai Juraij!' Juraij mengadukan kepada Allah, 'Ya Rabbi, aku memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan solatku?' Ia meneruskan solatnya. Lalu ibunya pergi meninggalkan Juraij.

Pada pagi hari Ibu Juraij datang lagi, ketika itu Juraij sedang solat. Sang Ibu memanggil, 'Wahai Juraij!' Juraij berkata, 'Ya Rabbi, aku memenuhi panggilan ibuku terlebih dahulu atau meneruskan solatku?' Tetapi Juraij meneruskan solatnya.
Lalu Ibu Juraij bersumpah, 'Ya Allah, janganlah Engkau matikan dia, sehingga ia melihat pelacur!'
Orang-orang Bani Israil menyebut-nyebut ketekunan ibadah Juraij.

Dan tersebutlah dari mereka seorang pelacur yang sangat cantik berkata, 'Jika kalian menghendaki, aku akan memberinya fitnah.'
Perempuan tersebut lalu mendatangi Juraij dan menggodanya. Tetapi Juraij tidak memperdulikannya. Lalu pelacur tersebut mendatangi seorang penggembala yang sedang berteduh di dekat tempat ibadah Juraij. Akhirnya ia berzina dan hamil.

Tatkala ia melahirkan seorang bayi. Orang-orang bertanya, 'Bayi ini hasil perbuatan siapa?' Pelacur itu menjawab, 'Juraij'. Maka mereka mendatangi Juraij dan memaksanya keluar dari tempat ibadahnya. Selanjutnya mereka memukuli Juraij, mencaci maki dan merobohkan tempat ibadahnya.
Juraij bertanya, 'Ada apa ini, mengapa kalian perlakukan aku seperti ini?.' Mereka menjawab, 'Engkau telah berzina dengan pelacur ini, sehingga ia melahirkan seorang bayi.' Ia bertanya, 'Di mana sekarang bayi itu?' Kemudian mereka datang membawa bayi tersebut.

Juraij berkata, 'Berilah aku kesempatan untuk mengerjakan solat!' Lalu Juraij solat. Selesai solat Juraij menghampiri sang bayi lalu mencoleknya di perutnya seraya bertanya, 'Wahai bayi, siapakah ayahmu?' Sang bayi menjawab, 'Ayahku adalah seorang penggembala.'

Serta merta orang-orang pun berhambur, menciumi dan meminta maaf kepada Juraij. Mereka berkata, 'Kami akan membangun kembali tempat ibadah untukmu dari emas!' Juraij menjawab, 'Jangan! Cukup dari tanah saja sebagaimana semula.' Mereka lalu membangun tempat ibadah sebagaimana yang dikehendaki Juraij.

Ketika ibu si bayi memangku anaknya untuk disusui, tiba-tiba dating seorang lelaki menunggang kuda yang gagah dan tampan rupa. Maka ibu itu berdoa, 'Ya Allah, jadikanlah anakku seperti dia.' Tiba-tiba bayi itu melepaskan susu ibunya dan menghadap kepada penunggang kuda tersebut seraya berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.' Lalu ia kembali lagi ke ibunya dan melanjutkan hisapan susunya."

Abu Hurairah berkata, "Seakan-akan aku melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam meniru gerakan si bayi dan meletakkan jari telunjuknya di mulut lalu mengisapnya.

Lalu datang serombongan orang membawa wanita hamba sahaya yang sedang dipukul. Mereka menuduh, 'Kamu telah berzina, kamu telah mencuri!' Sementara hamba sahaya perempuan itu berkata, 'Cukuplah Allah sebagai Pelindungku!'

Melihat kejadian ini, sang Ibu berdoa, 'Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia.' Maka bayi itu meninggalkan susu ibunya dan melihat ke tempat wanita hamba sahaya tersebut sambil berdoa, 'Ya Allah jadikanlah aku seperti dia.'

Dan pembicaraan itu berulang. Sang ibu berkata kepada anaknya, 'Di belakangku berlalu seorang penunggang kuda yang gagah dan tampan, lalu aku berkata, 'Ya Allah, jadikan anakku seperti dia.' Lantas engkau berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.' Lalu berlalu di hadapanku, wanita hamba sahaya dan mereka memukulinya serta mengatakan bahawa ia telah berzina, ia telah mencuri! Melihat hal ini, aku berdoa, 'Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dia.' Lalu engkau berkata, 'Ya Allah, jadikan aku seperti dia.'

Maka bayi itu menerangkan kepada ibunya, 'Wahai Ibu, sesungguhnya penunggang kuda yang tampan itu adalah orang yang sangat sombong. Maka aku berdoa, 'Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia!' Sedangkan terhadap hamba sahaya wanita itu, yang orang-orang berkata, 'Kamu berzina, padahal dia tidak berzina, kamu mencuri padahal dia tidak mencuri.' Maka, aku berdoa, 'Ya Allah jadikanlah aku seperti dia'." [1]

Pelajaran Yang Dapat Dipetik:
1. Kewajiban birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) terutama ibu, dan bahawasanya jika ia menyumpahi anaknya maka akan dikabulkan.
2. Allah menyelamatkan seseorang dengan ketakwaan dan keshalihannya.
3. Jika suatu urusan nampak tumpang tindih, hendaknya mengutamakan yang terpenting kemudian yang penting.
4. Disunnahkan berwudhu terlebih dahulu sebelum berdoa untuk hal-hal yang genting.
5. Wudhu sudah dikenal umat dan disyariatkan sebelum Nabi Muhammad.
6. Penetapan karamah para wali, yang mampu diperoleh melalui ikhtiar atau usaha mereka.
7. Bersikap lemah lembut dan sayang kepada murid ketika memberikan pendidikan kepadanya.
8. Orang yang memiliki kepercayaan yang tinggi kepada Allah tidak mudah termakan fitnah.
9. Boleh melakukan ibadah yang banyak/secara maksimal bagi yang mengetahui bahawa dirinya mampu.
10. Orang yang biasa berbuat keji tidak akan memperoleh penghormatan.
11. Orang yang secara tiba-tiba dilemparkan kepadanya suatu tuduhan hendaknya segera menghadap Allah dengan solat.
12. Menjelaskan keyakinan Juraij yang sangat tinggi begitu pula harapannya kepada Allah untuk memperoleh pertolongan-Nya. Sehingga ketika ia meminta anak bayi berbicara, Allah mengabulkannya. Padahal sebagaimana biasanya yang namanya bayi tentu belum mampu bicara.
13. Sombong dan membanggakan diri adalah perbuatan tercela, demikian pula orang yang sombong dan zalim, mereka semua dicela.
14. Orang yang dizalimi mempunyai kedudukan dan kelebihan di sisi Allah. Jika tidak demikian tentu tidak ada kebaikannya seorang anak yang masih menyusu ingin menjadi seorang pembantu yang rendah hati.
15. Seseorang boleh membatalkan solat sunnahnya manakala dipanggil orang tuanya untuk melakukan sesuatu yang syar'i.
16. Tidak boleh cepat mempercayai suatu tuduhan tanpa bukti.

_______________

[1] HR. al-Bukhari, 3436; Muslim, 2550.

[Sumber: Sittuna Qishshah Rawaha an-Nabi wash Shahabah al-Kiram, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, edisi bahasa Indonesia: "61 KISAH PENGANTAR TIDUR Diriwayatkan Secara Shahih dari Rasulullah dan Para Sahabat"

al-Haur Bada al-Kaur - Kembali/berpaling dari keimanan menuju kekafiran, dari ketaatan menuju kemaksiatan.

Sesungguhnya fenomena berpaling dari komitmen pada agama ini sungguh telah menyebar di kalangan kaum muslimin. Berapa banyak manusia mengeluh akan kerasnya hati setelah sebelumnya tenteram dengan berzikir pada Allah, dan taat kepada-Nya. Dan berapa banyak dari orang-orang yang dulu beriltizam (komitmen pada agama) berkata, "Tidak aku temukan lazatnya ibadah sebagaimana dulu aku merasakannya", yang lain bekata, "Bacaan al-qur'an tidak membekas dalam jiwaku", dan yang lain juga berkata, "Aku jatuh ke dalam kemaksiatan dengan mudah", padahal dulu ia takut berbuat maksiat.



Kesan penyakit ini nampak pada mereka, diantara ciri-cirinya adalah :
1. Mudah terjatuh dan terjerumus dalam kemaksiatan dan hal-hal yang diharamkan (Allah), bahkan dia terus melakukannya padahal dahulu dia sangat takut terjerumus kedalamnya.

2. Merasakan kerasnya hati, nasihat tentang kematian tidak berbekas sama sekali dalam hatinya, demikian juga melihat jenazah dan kuburan.
3. Tidak mantap dalam beribadah, sehingga anda (akan mendapati orang seperti ini) tidak menemukan "kelazatan" dalam menunaikan solat, membaca al-Qur'an, dan lainnya, serta malas (melakukan) ketaatan dan ibadah, bahkan mengabaikannya dengan mudah, padahal ia dulu giat serta bersemangat melakukannya.

4. Lalai dari berdzikir kepada Allah, serta tidak menjaga lagi zikir-zikir syar'iyah (seperti zikir pagi dan petang) padahal dulu ia giat dan bersemangat melakukannya.

5. Memandang rendah kebaikan dan tidak perhatian kepada amal kebajikan yang mudah dilakukan padahal dulu dia orang yang paling teguh dan rajin.

6. Selalu dibayangi oleh rasa takut pada waktu tertimpa musibah atau masalah, padahal dulu ia tegar serta teguh imannya kepada takdir Allah.

7. Hatinya cenderung kepada dunia dan sangat mencintainya hingga ia akan merasa sangat sedih sekali jika ada sesuatu dalam kehidupan dunia ini yang luput darinya, padahal dulu ia sangat terikat kepada akhirat dan kepada kenikmatan yang ada di dalamnya, Allah Ta'ala telah berfirman :
"Tetapi kalian memilih kehidupan dunia, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." ( al-A'la : 16-17 )

8. Terlalu berlebihan dalam memperhatikan kehidupan dunianya baik dalam masalah makan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kendaraan, padahal dulu ia lebih mengutamakan untuk mempercantik akhlaqnya dan untuk komitmen serta berpegang teguh pada agama.

Masih banyak lagi sebenarnya kesan penyakit ini. Dan sungguh Nabi saw telah berlindung dari al-Haur ba'da al Kaur. Dari 'Abdullah bin Sarjas ia berkata,
"Rasulullah saw jika berpergian berlindung dari kesukaran perjalanan, kesedihan saat kembali dan dari al-Haur ba'da al Kaur (lemah/malas dalam beribadah setelah dulunya semangat/rajin)."

Dalam riwayat at-Tirmidzi :
"... dan dari al haur ba'da al kaun..".
Berkata Nawawi, "Kedua hadits ini adalah hadits yang disebutkan oleh para ahli hadist, ahli bahasa dan ahli gharibul hadits/lafadh asing dalam hadits." (Sahih Muslim 9/119)

Lalu apakah makna al-Haur ba'da al-Kaur?
Ibnul Faris berkata : "al-Haur" ertinya adalah : kembali, Allah berfirman :

"Sesungguhnya ia menyangka bahwa ia sekali-kali tidak akan kembali, tetapi tidak..." (al-Insyqaaq : 14)

Orang Arab berkata :
Maknanya kebatilan itu kembali dan berkurang.

Jika dikatakan :
"Kami berlindung kepada Allah dari al haur.
Makna al-Haur adalah berkurang setelah bertambah. (Mu'jamu Maqayis al-Lughah 2/117)

Ibnu Mandzur menjelaskan dalam "Lisanul 'Arob" (4/217), ia berkata : "Dan dalam hadits :
"Kami berlindung kepada Allah dari al Haur setelah al Kaur"
Maknanya adalah dari berkurang setelah bertambah, atau dari kerosakan urusan kami setelah kebaikan.

At-Tirmidzi menafsirkan dengan perkataannya : "Dan makna perkataannya : 'al-Haur ba'da al-Kaun atau al-Kaur, kedua kata itu (al-Kaun dan al-Kaur) mempunyai satu erti, yaitu kembali/berpaling dari keimanan menuju kekafiran, dari ketaatan menuju kemaksiatan.'" (Sunan at-Tirmidzi 498/5)

Kalau begitu, makna al Haur ba'da al Kaur adalah perubahan keadaan manusia dari iman kepada kekafiran, atau dari takwa dan kebaikan kepada perbuatan rosak dan buruk, atau dari hidayah kepada kesesatan. Dan dalam hal ini manusia berbeza-beza tingkatannya, maka jika seseorang mundur/berpaling ke belakang dikhuatirkan ia menutup akhir kehidupannya dengan hal yang buruk.

Dan satu hal yang telah diketahui bahwa amal-amal (seseorang) dilihat pada akhir kehidupannya, dari Sahl bin Sa'ad a, bahawa Nabi bersabda :
"Sesungguhnya seorang laki-laki dulunya beramal dengan amal penghuni neraka, dan sesungguhnya ia adalah penghuni syurga, dan ia dulu mengerjakan amalan penghuni syurga, padahal ia adalah penghuni neraka, sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada akhirnya." (HR. al-Bukhari 6607)

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah berkata :
"Sesungguhnya ada seseorang yang dia beramal dengan amalan penghuni syurga dalam jangka waktu yang lama tapi diakhir hayatnya dia melakukan perbuatan penghuni neraka dan ada juga orang yang dahulunya berbuat perbuatan penghuni neraka tapi dia akhiri hidupnya dengan perbuatan penghuni syurga." (HR. Muslim 2651 dan Ahmad).

Nash-nash hadits diatas dan selainnya menerangkan kepada kita bahawa yang paling menentukan amal seseorang itu bukan dari apa yang dilakukannya semasa hidupnya tetapi dalam keadaan bagaimana ia mengakhiri hidupnya.

Oleh kerana itu pembahasan masalah ini sangat penting sekali, jangan sampai ada seseorang diantara kita yang mengira ia telah sukses melalui jambatan dan sampai di daratannya dengan aman disebabkan komitmennya terhadap agama, serta selamat dari kesesatan dan dari al Haur ba'dal Kaur.

Keteguhan/kekukuhan hanya dari Allah semata. Allah menguatkan/meneguhkan nabi-Nya, Dia berfirman :
"Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, nescaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka". (al-Isra' : 74)

Oleh kerana itu Rasulullah saw mengajarkan kepada kita agar kita memohon pertolongan kepada Allah agar Dia mengukuhkan kita diatas agama Islam, beliau saw bersabda :
"Wahai yang meneguhkan hati, teguhkanlah hati kami diatas agama-Mu" (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Dan sering kali beliau saw berkata tatkala bersumpah :
"Tidak, demi Dzat Yang Membolak-balikkan hati." (HR al-Bukhari 7391)

Diantara doa nabi saw :
"Wahai yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepadamu." (HR Muslim 2654)

Seorang yang beriman harus berusaha memeriksa hatinya dan mengetahui penyakit serta penyebab sakit hatinya, dan berusaha untuk mengubatinya sebelum hatinya menjadi keras dan akhir hidupnya menjadi teruk. Maka apa penyebab al-Haur ba'dal Kaur ? dan apa ubatnya ?



Sebab-sebab al-Haur ba'dal Kaur adalah :

1. Lemah Iman
.
Lemah iman adalah penyebab kerasnya hati, mudah jatuh dalam kemaksiatan dan malas dari ketaatan, tidak mendapatkan pengaruh dari (membaca) al-Qur'an dan solat. Lemah iman juga mengurangi rasa takut dia kepada Allah. Lemah iman juga penyebab banyaknya terlibat debat dan berbantah-bantahan, tidak adanya perasaan merasa bertanggung jawab kepada Allah dan beberapa fenomena lainnya.

Hal ini juga disebabkan sikap menjauh dari teman yang soleh serta majlis ilmu, dan tersibukkan dengan urusan-urusan dunia serta panjang angan-angan, dan terjerumus dalam hal-hal yang di haramkan. Maka apabila iman seseorang lemah, maka berubahlah keadaannya, dari hal yang baik & istiqamah menjadi tersesat dan berpaling. Maka suatu keharusan (bagi seorang muslim yang merasakan lemahnya iman) untuk mengubatinya. Caranya adalah dengan ikhlas (kepada Allah) dan membaca serta merenungkan al-Qur'an kemudian takut kepada (seksaan) Allah dan bertaubat dari dosa, kemaksiatan, takut terhadap akhir kesudahan yang buruk serta mengingat mati dan akhirat.

2. Jauh Dari Suasana Yang Penuh Dengan Keimanan.

Seperti majlis ilmu, masjid, al-Qur'an, teman yang soleh, solat malam, zikir dan lainnya. Jauh dari suasana yang penuh keimanan ini akibatnya adalah berbalik kebelakang (kembali kepada kemaksiatan). Maka apabila seseorang jauh dari temannya yang soleh dalam waktu yang lama kerana berpergian jauh atau suatu tugas atau semisalnya ia akan kehilangan suasana yang penuh keimanan yang mengakibatkan lemahnya iman dan tidak iltizam lagi, apabila ia tidak segera memperbaiki jiwanya.

Berkata al-Hasan al-Basri : " Teman-teman kita lebih mahal (nilainya) dibanding dengan keluarga kita, (hal ini disebabkan) kerana keluarga kita hanya mengingatkan kita kepada dunia, sedangkan teman-teman kita mengingatkan kita kepada akhirat". Maka selayaknya seorang muslim menjaga komitmennya terhadap agama dengan cara bersungguh-sungguh dan berusaha menjumpai lingkungan yang penuh keimanan.

3. Pengaruh Lingkungan (Yang buruk)

Jika seorang yang beriltizam berada ditengah lingkungan yang buruk, iaitu dia hidup bercampur dengan manusia yang bangga dengan kemaksiatan yang dilakukannya dan asyik berdendang dengan lagu-lagu & nyanyian, merokok, membaca majalah, lidahnya mengumpat & mencela orang yang beriman, dan apabila ia menghadiri suatu majlis undangan atau acara pernikahan (dikalangan mereka), didapatinya kemungkaran, pembicaraan-pembicaraan mengenai perdagangan, jabatan, harta serta masalah-masalah dunia yang mengakibatkan terjatuhnya hati dalam cinta yang mendalam pada dunia, jika demikian keadaannya maka hati berubah menjadi keras, dan akhirnya berbalik dari komitmen terhadap agama dan kebaikan kepada cinta dunia dan kemaksiatan.

Dan apabila ia diuji dengan harta, dengan isteri yang lemah imannya atau anak-anak yang sama dengan ibunya dia tidak mampu teguh bahkan mundur dan meninggalkan kebaikan dan keistiqamahan. Jika dia berkumpul dengan keluarga, tetangga dan teman-temannya yang buruk, mendengar kata-kata yang menyakitkan, ejekan, dan mendapatkan nasihat-nasihat yang menghalanginya untuk beriltizam, maka akibatnya ia mundur dari beriltizam dan berbalik hingga merugi di dunia dan di akhirat.

4. Lemah Dalam Pendidikan Yang Benar (Sesuai Agama).

Jika seorang muslim tidak menjaga dirinya dengan pemeliharaan, pendidikan dan perjuangan, ia akan mundur dan berbalik. Maka ia harus meluangkan waktunya sesaat untuk bertaqarrub/mendekatkan diri kepada Allah, menilai dirinya, mohon ampun dan bertaubat. Dan ia harus meluangkan waktu untuk mendapatkan ilmu agama, mempelajarinya, membacanya dan mengulangi pelajarannya. Dan ia harus meluangkan waktunya sesaat untuk berdakwah, sesaat untuk berzikir dan membaca al-Qur'an, hingga ia dapat menjaga amalannya itu.

5. Memandang Remeh Dosa-Dosa Dan Perbuatan Maksiat.

Abdullah bin Mubarak berkata :
Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati,
Mengerjakannya terus-menerus menimbulkan kehinaan
Adapun meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati
Dan menderhakai dosa adalah baik bagi jiwamu

Ibnul Qayyim berkata :
"Sesungguhnya diantara kesan negatif dosa adalah melemahkan perjalanan hati (seseorang) menuju negeri akhirat atau menghalanginya atau memutuskannya dari perjalanan itu. Dan kadang kala dosa juga mampu memutar balikkannya ke arah belakang (maksiat dan kekufuran). Hati itu akan berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, jika hati itu sakit lantaran dosa-dosa lemahlah kekuatan yang menjalankannya". (al-Jawabul Kahfi hal 140)

Meremehkan dosa-dosa akan member kesan buruk bagi seseorang, diantaranya menyebabkan bertambahnya dosa, menjauhkan seseorang dari jalan taubat, dan mengajak untuk tidak menjauh dari pelaku dosa. Lalu ia akan asyik bersahabat dan duduk bersama mereka (para pelaku dosa dan maksiat). Bahkan dosa-dosa tersebut mengajaknya untuk menjauh dari orang soleh dan bertaqwa. Dan ini adalah penyebab utama seseorang tidak istiqamah di atas jalan yang lurus.

6. Tertipu Dan Kagum Terhadap Diri Sendiri

Tidak diragukan lagi bahawa menghadiri majlis ilmu dan berteman dengan orang soleh menunjukkan bahwa pada diri orang tersebut terdapat kebaikan, akan tetapi jika telah masuk perasaan tertipu dan bangga terhadap diri sendiri maka hal ini akan memberi pengaruh tidak baik terhadap pelakunya. Jika sudah demikian, ia akan merasa telah sempurna dan tidak merasa perlu berbuat kebaikan dan beramal soleh lagi. Dan jika seseorang telah kagum terhadap dirinya sendiri maka akan hilang dari dirinya perasaan takut terhadap akhir kesudahan yang buruk dan ia akan merasa aman terhadap kesesatan setelah mendapatkan petunjuk. Hal ini merupakan tanda lemahnya hati dan penyebab seseorang itu mundur kebelakang tidak istiqamah lagi.

Jika seseorang kagum terhadap dirinya ia akan tersibukkan dengan mencari aib-aib orang lain dan terlupa untuk memperbaiki aib dalam dirinya. Maka seseorang harus mengubati jiwanya dengan membuang rasa bangga terhadap diri sendiri kemudian bersikap tawadhu', takut serta memperbaiki aibnya dan bertaubat kepada Allah Ta'ala.

7. Berteman Dengan Orang-Orang Jahat

Seorang teman mempunyai peranan penting dalam membentuk serta mempengaruhi keperibadian sahabatnya. Jika seorang teman melihat filem-filem dan majalah-majalah yang memberikan mudharat/bahaya (bagi agamanya), mendengarkan lagu-lagu dan muzik, maka ia akan mempengaruhi sahabatnya. Dan terkadang hal-hal yang dilakukan temannya menyelisihi syariat agama tapi ia diam dan tidak mengingkarinya, terkadang ia melihat temannya tidak taat beribadah dan meninggalkan sunnah-sunnah nabi, maka ia pun terpengaruh dan meninggalkan keistiqamahannya.

Oleh kerana itu seseorang harus memilih teman yang soleh yang membantunya untuk taat kepada Allah, dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa :
"Seseorang itu mengikuti agama temannya, maka hendaknya seseorang melihat siapa temannya".

8. Ada sebab-sebab lainnya yang menyebabkan seseorang meninggalkan keistiqamahan, diantaranya :

# Lemahnya kesungguhan dalam berpegang teguh (terhadap agama) dan tidak sabar atas kesulitan-kesulitan dan musibah yang menimpanya.
# Panjang angan-angan, berlebih-lebihan dalam menerapkan hukum agama terhadap dirinya diluar batas kemampuan (ekstrim).
# Penyakit-penyakit hati dan lisan yang menimpanya.
# Keperibadian yang lemah dan sikap selalu mengikut kepada orang lain.
# Kegagalan-kegagalan yang menimpa pada masa lalu dan dia sukar keluar darinya.


Lalu Bagaimana Cara Penyembuhannya?

Disaat kita menyebutkan hal-hal yang menyebabkan ketidak istiqamahan, kita juga menemukan cara-cara untuk mengubatinya :

Lemah iman ubatnya adalah menguatkan keimanan. Penyakit menjauhi dari lingkungan yang penuh dengan suasana keimanan ubatnya adalah mencari dan menjaga serta meningkatkan lingkungan yang penuh dengan suasana keimanan. 

Penyakit yang disebabkan oleh lingkungan (yang buruk) ubatnya adalah sabar serta menambah keistiqamahan dan bersandar kepada Allah. 

Lemah dalam pendidikan yang benar ubatnya adalah bersungguh-sungguh dalam mencari pendidikan yang benar sesuai dengan agama dan mengatur waktu serta bersungguh-sungguh memperbaiki jiwa. 

Dosa-dosa dan maksiat ubatnya adalah taubat dan mohon ampun dan tidak meremehkan dosa-dosa tersebut.

Adapun penyakit hati dan lisan yang mengakibatkan perbuatan tidak baik maka ubatnya adalah membebaskan diri darinya dan dengan bertaubat yang benar. 

Adapun teman yang buruk maka ubatnya adalah memilih teman yang baik dan soleh.


Adapula Cara Lainnya Untuk Mengubati Sikap Tidak Istiqamah

1. Ikhlas dan jujur kepada Allah, hal ini adalah sebab terpenting untuk istiqamah dan menjadi baik:

Ibnul Qayyim berkata :
"Sesungguhnya yang mendapatkan kesulitan dalam meninggalkan maksiat yang disukainya dan yang sering dilakukannya adalah seseorang yang meninggalkannya bukan kerana Allah. Adapun seseorang yang meninggalkan hal tersebut dengan jujur, ikhlas dari hatinya kerana Allah, ia hanya merasakan kesulitan di awal kali ia meninggalkannya. Ini semua untuk mengujinya, apakah ia jujur dalam meninggalkannya ataukah hanya berdusta, jika ia sabar dalam menghadapi kesulitan ini sebentar saja, ia akan memperoleh kelezatannya". (Al-Fawaid : 99)

2. Takut kepada akhir kesudahan/kematian yang buruk (su'ul khatimah)

Seorang yang beriman dan jujur harus takut dari akhir kesudahan yang buruk, dan waspada dari penyebabnya. Allah berfirman :

"(Ya Allah) wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang salih". (Yusuf : 101)

Suatu malam Sufyan ats-Tsauri menangis hingga subuh, tatkala ia ditanya, ia menjawab :
"Sesungguhnya aku menangis kerana takut su'ul khatimah / mati dalam keadaan beramal buruk". (Kitabul aqibah, karya Abdul Haq al-Isbaili 178)

Al-Imam al-Barbahari  berkata :
"Dan ketahuilah, bahawa sepatutnya seseorang ditemani perasaan takut selamanya, kerana ia tidak mengetahui mati dalam keadaan bagaimana, dengan amalan apa ia mengakhiri hidupnya, dan bagaimana ia bertemu Allah nantinya sekalipun ia telah mengamalkan segala amal kebaikan. (Syarhu Sunnah 39)

Rasa takut dari akhir kesudahan yang buruk memiliki banyak kesan positif. Perasaan ini akan mendorong seseorang untuk berserah diri kepada Allah serta menghadap kepada-Nya dengan selalu berdoa kepada-Nya. Perasaan takut ini akan mengajaknya untuk bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan menambah sikap istiqamah dan kebaikan, dan takut dari berbalik mundur ke belakang.

3. Berdoa

Berdo'a kepada Allah agar melindungi kita dari "al-haur badal kaur". Nabi saw berdo'a :
"Dan kami berlindung dari al-haur badal kaur" (HR Ahmad dan Muslim 1343, Tirmidzi, Nasai dan lainnya)

Nabi saw juga banyak berdoa :
"Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati kukuhkanlah hatiku diatas agama-Mu" (HR Tirmidzi)

Kita juga diperintah untuk memohon kepada Allah agar Dia memperbaharui keimanan dalam hati kita, Rasulullah saw bersabda :
"Sesungguhnya iman dapat menjadi usang dalam rongga (hati) kalian, sebagaimana baju dapat menjadi usang, maka mintalah kepada Allah agar Dia memperbaharui keimanan dalam hati kalian". (HR Hakim, terdapat juga dalam as-silsilah as-Shahihah karya al-Albani no 1585), maka hendaknya kita memperbanyak berdoa kepada Allah.

4. Berterusan dalam beramal soleh dan memperbanyak amal soleh.

Sesungguhnya amal soleh yang dilakukan secara istiqamah oleh seseorang adalah lebih disukai oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi :
"Amal yang paling disukai Allah adalah yang istiqamah walaupun sedikit ...." (Muttafaqun alaihi)

Jika seorang muslim berterusan dalam beramal soleh sesungguhnya ia akan hidup dalam kebaikan dan keistiqamahan, jika ia lemah dan tertimpa rasa putus asa, maka amal-amal kebaikan yang ia lakukan secara berterusan ini akan menjadi tiang penyangga untuk istiqamah, mengembalikan jiwa (yang putus asa), dan menguasai jiwanya. Maka sepatutnya bagi seorang muslim untuk memperhatikan dalam mengerjakan amal-amal soleh beberapa perkara ini :

a. Bersegera dan berlumba-lumba dalam beramal soleh, Allah berfirman :
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada syurga ..." (Ali Imran : 133)
b. Dan terus beramal soleh serta menjaganya :
"Sentiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku (Allah) dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya..." (HR Bukhari 6137)
c. Lalu bersungguh-sungguh dalam beramal soleh dan memperbanyaknya kemudian bervariasi dalam beramal soleh supaya tidak membosankan jiwanya.
Ibnu Mas'ud berkata :
"Dahulu Nabi saw tidak terus menerus dalam memberi nasihat kerana khuatir kebosanan menimpa kami". (Bukhari 68)

Maka seorang muslim harus mengambil bahagian untuk duduk dalam majlis ilmu yang memberikannya nasihat, dan dibacakan kepadanya kitab-kitab tentang hal itu.

5 Ada juga cara lain untuk mengubati fenomena ketidak istiqamahan ini, diantaranya :

Berzikir kepada Allah, merenungkan kehinaan dunia, muhasabah diri, beramal dan aktif berdakwah.

Akhirnya segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Kita berlindung kepada Allah dari al-Haur ba'dal Kaur.

"Ya Allah (yang membolak-balikkan hati). Tetapkanlah hati-hati kami untuk selalu ta'at kepada-Mu. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan Husnul Khotimah."


Keberkahan dan Manfaat Hujan, Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Allah telah menurunkan hujan sebagai rahmat di saat diperlukan oleh seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syuura: 28). Yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah hujan sebagaimana dikatakan oleh Maqotil.[1]


Keberkahan dan Manfaat Hujan

Hujan adalah air yang diturunkan dari langit dan penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaaf: 9). Yang dimaksud keberkahan di sini adalah banyaknya kebaikan.[2]

Di antara keberkahan dan manfaat hujan adalah manusia, haiwan dan tumbuh-tumbuhan sangat memerlukannya untuk keberlangsungan hidup, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al Anbiya’: 30). Al Baghowi menafsirkan ayat ini, “Kami menghidupkan segala sesuatu menjadi hidup dengan air yang turun dari langit yaitu menghidupkan haiwan, tanaman dan pepohonan. Air hujan inilah sebab hidupnya segala sesuatu.”[3]


Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan

Pertama: Takut datangnya adzab ketika mendung.

Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khuatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah.”[4]

Kedua: Do’a ketika turun hujan sebagai rasa syukur pada Allah.

’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[5]

Ketiga: Turunnya hujan, kesempatan terbaik untuk memanjatkan do’a.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[6] mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : (1) Bertemunya dua pasukan, (2) Menjelang shalat dilaksanakan, dan (3) Saat hujan turun.”[7]

Keempat: Do’a ketika terjadi hujan lebat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a, “Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk meruosak kami. Ya Allah, turunkanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].”[8]

Kelima: Do’a ketika terjadi angin kencang.

Dianjurkan bagi seorang muslim ketika terjadi angin kencang untuk membaca do’a berikut sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan ketika itu, “Allahumma inni as-aluka khoirohaa wa khoiro maa fiihaa wa khoiro maa ursilat bihi, wa a’udzu bika min syarrihaa wa syarri maa fiiha wa syarri maa ursilat bihi (Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu baiknya angin ini dan kebaikan yang ada padanya, dan aku memohon kebaikan dari yang diutus dengannya. Aku berlindung kepada-Mu dari buruknya angin ini, dan keburukan yang ada padanya dan aku berlindung dari keburukan yang diutus dengannya)”[9]

Keenam: Do’a ketika mendengar suara petir.

Apabila ’Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian mengucapkan, “Subhanalladzi yusabbihur ro’du bi hamdihi wal mala-ikatu min khiifatih” (Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya kerana rasa takut kepada-Nya).”[10]

Ketujuh: Mengambil berkah dari air hujan.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga tersiram hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kerana hujan ini baru saja Allah ciptakan.”[11]

An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.”[12]

Kelapan: Dianjurkan berwudhu dengan air hujan.

Dalilnya, “Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”[13]

Kesembilan: Tidak boleh mencela hujan.

Sebahagian orang sering keluar dari mulutnya celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”. Ketahuilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasihatkan kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela waktu dan angin kerana kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.”[14] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.”[15]

Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.[16]

Kesepuluh: Do’a setelah turun hujan

Do’anya adalah, “Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih (Kita diberi hujan kerana kurnia dan rahmat Allah).”[17]

Keringanan Ketika Turun Hujan

Pertama: Bolehnya meninggalkan shalat jama’ah di masjid ketika turun hujan.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. …”[18]

An Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan, ”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur[19]. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mahu, silakan mengerjakan shalat di rihal (kendaraannya) masing-masing.”[20]

Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah menyebutkan salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah adalah cuaca yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu Baththol yang menyatakan bahawa hal ini adalah ijma’ (kesepakatan para ulama).[21]

Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, ada beberapa lafadz tambahan adzan ketika kondisi hujan, dingin, berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar :

Alaa shollu fir rihaal artinya Hendaklah shalat di rumah (kalian)
Alaa shollu fi rihaalikum artinya Hendaklah shalat di rumah kalian
Sholluu fii buyutikum artinya Sholatlah di rumah kalian
An Nawawi mengatakan, “Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan kerana terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, mengucapkannya sesudah adzan lebih baik agar lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada.”[22]


Kedua: Bolehnya menjama’ shalat ketika hujan deras.

Dari Abu Az Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau berkata, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.”[23] Yang meriwayatkan dari Abu Az Zubair adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam Malik mengatakan, ”Aku menyangka bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.”

Al Baihaqi mengatakan, ”Begitu pula hadits ini diriwayatkan oleh Zuhair bin Mu’awiyah dan Hammad bin Salamah, dari Abu Az Zubair, juga dikatakan, ”(Beliau menjama’) bukan kerana keadaan takut dan bukan pula kerana safar. Akan tetapi dalam riwayat tersebut tidak disebutkan shalat Maghrib dan ’Isya dan hanya disebut jama’ tersebut dilakukan di Madinah.”[24] Ertinya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan jama’ ketika mukim (tidak bepergian) dalam kondisi hujan.

Beberapa point yang perlu diperhatikan:

Yang diperintahkan ketika hujan adalah menjama’ shalat (menggabungkan dua shalat) tanpa perlu mengqoshor.[25]
Jama’ dilakukan dengan imam di masjid dan bukan dilakukan di rumah.[26]
Apabila shalat telah dijama’ pada waktu pertama dari dua shalat, lalu setelah dijama;’, hujan tersebut reda, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.[27]
Boleh menjama’ shalat zhuhur dan ashar atau maghrib dan Isya. Yang paling afdhol jika dilakukan dengan jama’ taqdim.[28]
Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang boleh membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.[29]
Demikian panduan ringkas mengenai beberapa amalan dan keringanan dari syariat ketika turun hujan. Semoga kita dimudahkan untuk mengamalkannya walaupun di tengah keterasingan. Hanya Allah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal][30]

_____________

[1] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 5/322, Mawqi’ At Tafasir
[2] Tafsir Al Baghowi (Ma’alimut Tanzil), Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi, 7/357, Dar Thoyibah, cetakan keempat, 1417 H
[3] Tafsir Al Baghowi, 5/316
[4] Lihat Adabul Mufrod no. 686. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[5] HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523
[6] Al Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 2/294, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, 1405 H
[7] Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026
[8] HR. Bukhari no. 1014
[9] HR. Muslim no. 899
[10] Lihat Adabul Mufrod no. 723. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[11] HR. Muslim no. 898
[12] Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392 H
[13] HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil no. 679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[14] HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah
[15] HR. Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[16] Faedah dari guru kami Ustadz Abu Isa hafizhohullah. Lihat buah pena beliau “Mutiara Faedah Kitab Tauhid”, hal. 227-231, Pustaka Muslim, cetakan pertama, Jumadal Ula 1428 H
[17] HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al Juhaniy
[18] HR. Muslim no. 699
[19] Pendapat yang lebih kuat, shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain –bagi kaum pria-
[20] Syarh Muslim, 5/207
[21] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 1/234-235, Mawqi’ Ya’sub
[22] Syarh Muslim, 5/207
[23] HR. An Nasa-i no. 601. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[24] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24/73
[25] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/292, Mawqi’ Al Ifta’
[26] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhutsil Al ‘Ilmiyyah wal Iftaa’, 8/135, Darul Ifta’
[27] Lihat Al Jami’ Liahkamish Sholah, Mahmud ‘Abdul Latif ‘Uwaidhoh, 2/ 497-499, Daruk Wadhoh, ‘Amman, Yordania, cetakan ketiga, tahun 2004
[28] Syarhul Mumthi’, 2/285
[29] Al Mughni, 2/117
[30] Lihat tulisan ini selengkapnya di www.muslim.or.id dengan judul “Musim Hujan Telah Tiba”.

Muhasabah Diri: Nasihat Penutup Tahun untuk Persediaan Di Tahun Baru


NASIHAT PENUTUP TAHUN

Penulis: Dr Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Berkata sebahagian ahli hikmah,

“Bagaimana mampu  bergembira seseorang yang harinya membinasakan bulannya dan bulannya membinasakan tahunnya dan tahunnya membinasakan umurnya. Bagaimana mampu  bergembira seseorang yang umurnya menggiringnya kepada ajalnya dan kehidupannya menggiringnya kepada kematiannya.”

Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan sifat fana bagi dunia ini dan mengkhabarkan bahawa akhirat adalah negeri abadi, dengan kematian dia membinasakan usia yang panjang. Saya memuji-Nya atas segenap nikmat-Nya yang tercurah dan saya bersaksi bahawa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah semata, Dzat Yang Menundukkan segala sesuatu. Dan saya bersaksi bahawa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dia telah memperingatkan dari condong kepada negeri ini, shalawat serta salam semoga tercurah kepada beliau dan keluarganya beserta para shahabatnya yang taat dan suci sepanjang siang dan malam.

Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan fikirkanlah dunia kalian dan betapa cepat dia berlalu. Bersiap-siaplah menyambut akhirat dan kengeriannya. Setiap bulan yang menghampiri seseorang semakin menyeret dia mendekati ajal dan akhiratnya.

Sebaik-baik kalian adalah yang panjang umurnya lagi baik amalannya, dan seburuk-buruk kalian adalah yang panjang  umurnya lagi buruk amalannya. Tidak ada selain apakah seseorang diberi pahala atas ketaatan dan kebaikannya atau diberi dengan dosa atas keburukan dan kemaksiatannya, kecuali apabila dikatakan fulan telah wafat.

Alangkah dekatnya kehidupan dengan kematian. Dan segala yang akan datang pasti datang. Dan kalian sekarang akan meninggalkan tahun yang telah usai dan usia kalian pun semakin berkurang dan akan menyambut tahun yang kalian tidak tahu apakah kalian akan menyelesaikannya ataukah tidak?!

Maka hisablah diri-diri kalian apa yang telah kita perbuat pada tahun yang lalu? Apabila kebaikan, bersyukurlah kepada Allah dan sambunglah kebaikan itu dengan kebaikan.

Sedangkan apabila buruk, bertaubatlah kepada Allah darinya dan isi sisa-sisa usia kita (dengan kebaikan) sebelum luput darinya.

Berkata Maimun bin Mihran, “Tidak ada kebaikan dalam kehidupan kecuali bagi orang yang bertaubat atau seseorang yang beramal shalih mencari derajat yang tinggi.” Yakni orang yang bertaubat, kesalahan-kesalahannya gugur disebabkan taubatnya dan orang yang beramal shalih bersungguh-sungguh dalam menggapai derajat yang tinggi dan selain mereka merugi. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala,

“Demi masa,sesungguhnya manusia benar-benar berada di dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling nasihat menasihati di dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati di dalam kesabaran.”

Pada ayat ini Allah bersumpah dengan waktu yang merupakan zaman dimana manusia tinggal, bahawa setiap manusia berada di dalam
kerugian. Kecuali mereka yang memiliki 4 sifat yang disebutkan;iman, amal shalih, saling nasihat-menasihati di dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati di dalam kesabaran di atas kebenaran. Surat yang agung ini merupakan tolok ukur amal perbuatan, dengannya seorang mukmin menimbang dirinya sehingga jelaslah baginya apakah dia termasuk golongan yang beruntung atau merugi. Oleh kerana itu Al Imam Asy-Syafi’i berkata, “Seandainya setiap orang mentadabburi surat ini pastilah cukup baginya.”

Dan sebahagian ulama berkata, “Dahulu orang-orang yang shiddiq merasa malu kepada Allah apabila di hari itu (kualiti) amalannya
seperti hari semalam.”

Hal ini menunjukkan bahawa mereka tidak rela hari berganti kecuali amalan kebajikannya bertambah. Dan mereka malu apabila tidak ada kebajikan yang bertambah dan mereka menganggap hal itu sebagai kerugian.

Maka dengan bertambah usia seorang mukmin bertambah pula kebaikannya. Barangsiapa keadaannya seperti ini kehidupan lebih baik darinya daripada kematian. Dan pada doa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,


“Ya Allah jadikanlah kehidupan sebagai penambah kebaikan bagiku dan (jadikanlah) kematian sebagai penghenti keburukan
dariku”. HR Muslim.


Dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Rhadiyallahu 'Anhu, bahawa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“Tidaklah seseorang wafat kecuali dia menyesal, apabila dia orang yang baik dia menyesal kenapa tidak lebih baik dan apabila dia orang jahat dia menyesal kenapa dia tidak bertaubat.” Dan ditampakkan orang-orang yang telah wafat di dalam tidur, ia berkata, “Tidak ada pada kami yang lebih banyak daripada penyesalan dan tidak ada pada kalian yang lebih banyak daripada kelalaian.” Dan sebahagian mereka melihat di dalam tidurnya, ia berkata, “Kami menyesal atas suatu yang besar, kami mengetahui tapi kami tidak berbuat sedangkan kalian berbuat tapi tidak mengetahui. Sungguh demi Allah sekali tasbih atau dua kali atau satu rakaat atau dua rakaat yang terdapat di lembaran (amalan kami) lebih kami cintai daripada dunia dan seisinya.”


Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya setiap amalan tergantung penutupannya.Barangsiapa berbuat baik pada sisa umurnya akan diampuni kesalahannya yang telah lalu, dan barangsiapa berbuat buruk pada sisa umurnya akan dihukum atas kesalahan yang telah lalu dan kesalahan di sisa umurnya. Orang-orang yang telah wafat menyesal atas apa yang telah luput dari berbagai kesenangan
dunia yang fana. Apa yang telah berlalu dari dunia walaupun pada masa yang lampau sungguh telah hilang kelezatannya dan tinggal sisa-sisanya dan apabila kematian telah datang seolah-olah itu semua tidak ada. Allah Ta’ala berfirman, “Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, nescaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya. (QS. Asy-Syuara’:205-207)

Dan pada Shahih Muslim dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Allah mengangkat uzur dari hambanya yang Dia panjangkan umurnya sampai enam puluh tahun.” Dan di dalam Sunan At-Tirmidzi, “Usia ummatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit dari mereka yang melewati itu.”

Wahai yang bergembira dengan bertambahnya usia, sesungguhnya engkau bergembira atas berkurangnya usiamu. Berkata sebahagian ahli hikmah, “Bagaimana mampu  bergembira seseorang yang harinya membinasakan bulannya dan bulannya membinasakan tahunnya dan tahunnya membinasakan umurnya.


Bagaimana mampu  bergembira seseorang yang umurnya menggiringnya kepada ajalnya dan kehidupannya menggiringnya kepada kematiannya.”

Akan didatangkan di hari kiamat seseorang yang paling panjang umurnya di dunia dari golongan kelas atas yang menelantarkan
ketaatan kepada Allah dan melakukan kemaksiatan- kemaksiatan, kemudian dicelup di neraka sekali celup, kemudian dikatakan padanya, “Apa engkau pernah merasakan kesenangan di dunia sekali saja? Apa pernah engkau melalui kegembiraan di dunia sebentar saja? Maka ia berkata, “Sungguh tidak pernah wahai Rabb! Lupa segala macam kenikmatan dunia pada awal dirasakan padanya azab. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang diberikan pada mereka kesempatan hidup kemudian mereka telantarkan dalam kelalaian dan kesenangan. Dan diberikan pada mereka harta kemudian mereka hambur-hamburkan di jalan syahwat-syahwat yang haram. Ketika mereka merasakan balasan mereka yang pertama, mereka lupa setiap apa yang pernah mereka miliki di dunia dari waktu dan harta dan semua apa yang pernah mereka rasakan dari kelazatan dan syahwat. Merekalah orang-orang yang
memusatkan akal-akalnya dan aktivitinya serta perhatiannya untuk dunia mereka dan mengikuti syahwat perut dan kemaluan mereka dan meninggalkan kewajiban terhadap Rabb mereka dan melupakan akhirat mereka. Hingga datang kepada mereka kematian sehingga mereka keluar dari dunia dalam keadaan tercela, merugi dari kebaikan-kebaikan, sehingga bersatulah pada mereka sakratulmaut dan ruginya kematian. Maka mereka pun menyesal di saat penyesalan tidak lagi bermanfaat, “dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan,
"Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini." Maka, pada hari itu tiada seorangpun
menyiksa seperti siksa-Nya, (QS.Al Fajr: 25)

Maka fikirkanlah wahai manusia sekalian! Dengan habisnya tahun habis pula umur seseorang dan fikirkanlah, dengan berpindahnya tahun perpindahan ke negeri akhirat.

“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.(Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu.Dan barangsiapa yang mengerjakan amal yang soleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk syurga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab. (QS. Ghafir: 39-40)

Sumber :
Sahab.net

http://www.ahlussunnah/-jakarta.com/artikel_detil.php?id=411

Mutiara Ilmu Islam: Allah Selalu Bersamamu

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Salah satu bekal yang penting diberikan para orang tua kepada anak-anaknya adalah upaya menumbuhkan rasa optimis pada diri anak dalam menghadapi kehidupan yang sarat dengan cabaran dan masalah. Cara terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengenalkan pada anak akan pertolongan Allah yang diberikan kepada setiap hamba-Nya yang beriman. Anak perlu difahamkan bahawa bila Allah telah memberikan pertolongan-Nya, maka permasalahan seberat apapun akan dapat diselesaikan.

Anak, dengan segala keunikan yang ada pada peribadinya, tidak terlepas dari permasalahan, baik berkenaan dengan dirinya, tempat belajarnya, ataupun orang-orang di sekelilingnya. Begitu pun sisi berat ringannya permasalahan yang dihadapi berbeza-beza antara satu anak dengan yang lainnya. Maka tidak jarang dijumpai dalam keseharian anak-anak yang begitu penakut terhadap segala sesuatu yang tak sepatutnya dikhuatirkan. Semua itu terkadang membuat orang tua berkerut dahi, dengan jalan apa kiranya mengatasi hal-hal semacam ini?

Jika demikian, tentu sang anak memerlukan bekal untuk menghadapi setiap masalah yang dihadapinya. Dia memerlukan bimbingan agar senantiasa merasakan pengawasan Rabb-nya, meminta hanya kepada-Nya, disertai keyakinan yang kukuh terhadap ketetapan dan takdir-Nya.
Ketika itulah selayaknya orang tua melihat kembali, bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan optimisme dan kebesaran jiwa pada diri anak, agar menghadapi gelombang kehidupan ini dengan keberanian dan penuh harapan, hingga kelak mereka menjadi seorang yang mempunyai peribadi yang bermanfaat bagi umat ini.

Beliau pesankan kepada anak saudaranya, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu 'anhuma:

يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ. احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ. إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ. رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ. رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
وَفِي رِوَايَةِ غَيْرِ التِّرْمِذِي: احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ. تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ. وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ. وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنََّ الفَرَجَ مَعَ الكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ العُسْرِ يُسْرًا
“Wahai anak(ku), sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, nescaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, nescaya engkau akan dapati Dia ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan dapat memberikannya kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan mudharat kepadamu, mereka tidak akan dapat menimpakannya kecuali apa yang telah Allah tetapkan menimpamu. Telah diangkat pena, dan telah kering lembaran-lembaran.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan beliau berkata: hadits hasan shahih).(1)

Dan dalam riwayat selain At-Tirmidzi: “Jagalah Allah, nescaya engkau akan dapati Dia di hadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan lapang, nescaya Dia akan mengenalimu dalam keadaan susah. Ketahuilah, sesungguhnya apa yang ditetapkan luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang ditetapkan menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah, pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.”

Inilah kalimat yang agung dan mulia dari lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seakan beliau mengatakan: Jagalah batasan-batasan dan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, juga dengan mempelajari agama-Nya hingga engkau dapat menunaikan ibadah dan muamalahmu. Jagalah semua itu, nescaya Dia akan menjaga agama, keluarga, harta mahupun dirimu, kerana Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik atas kebaikannya. Sementara balasan yang paling penting adalah penjagaan-Nya terhadap agamamu serta menyelamatkan dirimu dari kesesatan.

Sebaliknya, seseorang yang meninggalkan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala pun akan meninggalkan dirinya dan dia tidak berhak mendapatkan penjagaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman-Nya:

وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah, sehingga Allah jadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)

Pesan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini juga memberikan pelajaran pada seorang anak untuk meminta ataupun memohon pertolongan hanya kepada Allah semata, tidak memintanya kepada makhluk. Kerana Dialah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Namun, tidak terlarang untuk meminta pertolongan kepada makhluk pada hal-hal yang mampu dia lakukan. Kalaupun dia harus meminta sesuatu atau mencari pertolongan kepada makhluk, maka sesungguhnya makhluk itu hanyalah sebab dan Allahlah yang menciptakan sebab, hingga kepada-Nyalah harus bersandar.

Demikian pula segala kebaikan yang diberikan dan bahaya yang ditimpakan oleh makhluk, semuanya telah ditetapkan oleh Allah. Namun, bukan bererti seseorang tidak diperkenankan untuk menolak bahaya dari dirinya, kerana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
“Dan balasan keburukan itu adalah keburukan yang semisal.” (Asy-Syura: 40)

Oleh kerana itu, seorang hamba harus menggantungkan harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak berpaling sedikit pun kepada makhluk, kerana makhluk tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk memberi manfaat maupun menimpakan bahaya.

Begitu pun nasihat ini berisi anjuran untuk menunaikan hak Allah di saat lapang, sihat dan berkecukupan, nescaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengenalinya ketika berada dalam kesusahan, hingga Dia ringankan penderitaannya, menolong dan menghilangkan kesusahannya itu.

Ditemui pula pengajaran pada anak bahawa apa pun yang ditetapkan akan menimpa tak akan dapat ditolak. Dan apa pun yang tidak ditetapkan tak akan mampu diraih, kerana Allah telah menetapkan semua itu.

Di dalam nasihat ini juga terdapat anjuran agar bersabar untuk memperoleh pertolongan. Kesabaran ini mencakup sabar untuk taat kepada Allah, sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah, dan sabar di atas ketetapan Allah yang ‘menyakitkan’ (menurut manusia,). Inilah khabar gembira bagi orang yang bersabar, kerana pertolongan akan mengiringi kesabaran. Inilah khabar gembira bahawa kelapangan itu mengiringi kesusahan.

Hendaknya pula ketika ditimpa kesulitan, seorang hamba bersandar diri kepada Allah dengan menanti-nantikan kemudahan dari Allah serta membenarkan janji Allah, kerana Allah telah mengatakan di dalam Kitab-Nya yang mulia:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Alam Nasyrah: 5-6)
[Dirangkum dari Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah](2)



Di waktu yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan nasihat yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:

المُؤْمِنُ القَوِي خَيْْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِِ الضَعِيْفِ. وَفِي كُلٍّ خَيْر.ٌ اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ. وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ. فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing dari keduanya ada kebaikan. Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, serta jangan merasa lemah. Apabila engkau ditimpa sesuatu, janganlah mengatakan ‘Seandainya aku dulu melakukan begini dan begini’, namun katakanlah ‘Ini adalah takdir Allah, dan apa pun yang Allah kehendaki pasti Allah lakukan’ kerana ucapan ‘seandainya’ itu membuka amalan setan.” (HR. Muslim no. 2664)

Yang dimaksud dengan kuat dalam ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah jiwa yang kukuh dan bersemangat terhadap perkara akhirat. Sehingga orang yang seperti ini menjadi orang yang paling pemberani terhadap musuh, paling cepat bertolak ke medan jihad, paling teguh dalam memerintahkan orang lain pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, dan bersabar dalam menempuh semua itu, serta tabah dalam menempuh kesusahan kerana mengharap Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dia pun menjadi orang yang paling senang menunaikan shalat, puasa, dzikir, maupun seluruh ibadah, bersemangat pula untuk menjalankan dan menjaganya. Akan tetapi, baik orang yang kuat mahupun orang yang lemah memiliki kebaikan kerana mereka sama-sama beriman, juga kerana ibadah yang dilakukan oleh orang yang lemah itu.

Dianjurkan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menginginkan apa yang ada di sisi-Nya, serta memohon pertolongan kepada-Nya untuk mendapatkan itu semua. Hendaknya seorang hamba tidak merasa lemah dan malas untuk mencari amalan ketaatan dan memohon pertolongan dari-Nya. (Syarh Shahih Muslim)

Inilah yang semestinya tergambar dalam peribadi seorang anak. Tak ada salahnya bila suatu ketika orang tua menuturkan kisah-kisah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang perjalanan hidup orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala beri kemuliaan, yang sarat dengan optimisme dan keyakinan kepada Rabb-nya. Kerana anak senang dengan cerita dan biasanya berbekas dalam jiwanya.

Salah satunya dituturkan oleh Shuhaib bin Sinan radhiallahu 'anhu dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: (3)

Dulu hidup seorang raja yang memiliki seorang tukang sihir. Ketika usia tukang sihir itu telah menua, ia berkata kepada sang raja, “Sesungguhnya aku ini telah tua, maka utuslah padaku seorang pemuda yang dapat kuajari sihir.” Lalu raja pun mengirim seorang pemuda untuk diajari sihir.

Di tengah jalan yang biasa dilalui pemuda itu menuju tukang sihir ada seorang rahib. Pemuda itu singgah duduk dan mendengarkan ucapan sang rahib. Dia pun merasa takjub. Maka demikianlah bila dia mendatangi tukang sihir, dia melewati rahib lalu duduk di hadapannya. Bila tiba di hadapan tukang sihir, tukang sihir itu pun memukulnya. Dia adukan hal itu kepada rahib. Si rahib menjawab, “Kalau engkau khuatir terhadap tukang sihir, katakan padanya ‘Keluargaku menahanku’, dan kalau engkau khuatir terhadap keluargamu, katakan ‘Tukang sihir menahanku’.”

Demikian terus berlangsung sampai suatu saat, muncul seekor binatang besar yang menghalangi jalan manusia. Pemuda itu berkata, “Pada hari ini aku akan mengetahui, apakah tukang sihir yang lebih utama ataukah rahib.” Lalu diambilnya sebuah batu sambil berkata, “Ya Allah, bila ajaran rahib lebih Engkau cintai daripada ajaran tukang sihir, matikanlah binatang ini, hingga manusia dapat melaluinya kembali.” Dilemparnya binatang itu hingga akhirnya mati dan orang-orang pun dapat melalui jalan itu lagi.

Kemudian dia datang kepada rahib dan menceritakan apa yang terjadi. Mendengar itu rahib berkata, “Wahai anakku, sekarang engkau lebih utama daripadaku, engkau telah mencapai kedudukan sebagaimana yang kulihat, dan nanti engkau akan diuji. Jika engkau mendapatkan ujian, jangan sekali-kali menunjuk padaku.”

Pemuda itu pun dapat mengubati orang yang buta sejak lahir, orang yang berpenyakit sopak ataupun segala penyakit. Hal itu didengar oleh seorang pendamping raja yang buta. Dia pun mendatangi pemuda itu dengan membawa banyak hadiah, lalu berkata, “Semua yang di hadapanmu ini menjadi milikmu kalau engkau dapat menyembuhkanku.” Si pemuda menjawab, “Aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah. Kalau engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa agar Allah menyembuhkanmu.” Pendamping raja itu pun beriman dan Allah pun menyembuhkannya.

Pendamping raja itu kembali duduk di sisi raja sebagaimana biasanya. Sang raja bertanya, “Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?” “Rabbku,” jawab pendamping raja. “Apakah engkau punya Rabb selain aku?” tanya raja lagi. “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah,” jawabnya.
Sang raja pun menangkapnya dan terus-menerus menyeksanya sampai akhirnya pendamping raja itu menunjukkan si pemuda.

Didatangkanlah pemuda itu dan dia mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah.” Mendengar itu, raja segera menangkapnya dan terus-menerus menyeksanya sampai pemuda itu menunjukkan si rahib.

Didatangkan pula si rahib dan dikatakan padanya, “Keluar dari agamamu!” Rahib itu menolak. Raja meminta sebilah gergaji, lalu digergajilah tepat di tengah-tengah kepala rahib hingga terbelah dua badannya. Kemudian didatangkan pendamping raja dan dikatakan pula, “Keluar dari agamamu!” Akan tetapi dia menolak hingga digergaji tepat di tengah kepalanya sampai terbelah dua badannya.

Setelah itu didatangkan si pemuda dan dikatakan juga padanya, “Keluar dari agamamu!” Dia pun menolak, hingga raja menyerahkannya pada para pengawal, “Bawa dia naik ke gunung. Kalau kalian telah sampai di puncak, tawarkanlah kalau dia mau keluar dari agamanya. Kalau tidak, lemparkan dia!” Mereka membawa pemuda itu naik ke gunung. Pemuda itu berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Tiba-tiba gunung itu bergoncang dahsyat hingga para pengawal itu berjatuhan dari atas gunung.

Pulanglah pemuda itu dengan berjalan kaki ke hadapan raja. Raja pun bertanya hairan, “Apa yang mereka lakukan?” Jawab pemuda itu, “Allah menyelamatkanku dari mereka.”

Kemudian raja kembali menyerahkannya pada pengawal, “Bawalah dia dengan perahu hingga ke tengah lautan, lalu tawarkan kalau dia mau keluar dari agamanya. Kalau tidak, lemparkan dia ke lautan.” Mereka pun membawanya ke tengah lautan. Pemuda itu lalu berdoa, “Ya Allah, selamatkan aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Tiba-tiba perahu itu terbalik hingga para pengawal raja tenggelam.

Pemuda itu pulang ke hadapan raja dengan berjalan kaki. Raja bertanya lagi, “Apa yang mereka lakukan?” Pemuda itu menjawab, “Allah menyelamatkanku dari mereka.”

Pemuda itu berkata lagi, “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku sampai engkau laksanakan sarananku.” “Apa itu?” tanya raja. “Engkau kumpulkan manusia di sebuah tanah lapang, dan engkau salib aku pada sebatang pohon. Lalu ambil sebuah anak panah dari tempat anak panahku dan letakkan di busur. Kemudian ucapkan ‘Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini’ lalu panahlah. Kalau engkau lakukan ini, engkau akan dapat membunuhku.”

Raja segera mengumpulkan manusia di suatu tanah lapang dan menyalib pemuda itu pada sebatang pohon. Lalu diambilnya anak panah dari tempatnya kemudian diletakkan di busurnya sambil berkata, “Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.” Dilontarkannya anak panah tepat mengenai dahi pemuda itu. Pemuda itu pun meletakkan tangannya di dahinya, di tempat sasaran anak panah, lalu meninggal.

Menyaksikan hal itu, manusia pun berkata, “Kami beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami beriman kepada Rabb pemuda itu! Kami beriman kepada Rabb pemuda itu!”

Disampaikanlah kepada raja, “Tidakkah engkau melihat apa yang engkau khuatirkan? Demi Allah, sungguh telah terjadi apa yang engkau takutkan. Manusia telah beriman.” Maka raja memerintahkan untuk dibuat parit besar di setiap pintu kota dan dinyalakan api di dalamnya. Raja berkata, “Barangsiapa yang tidak mau keluar dari agamanya, lempar dan bakar dia di dalamnya!” Perintah itu pun segera dilaksanakan.

Suatu ketika, datang seorang wanita membawa anaknya yang masih kecil. Dia merasa bimbang untuk masuk ke dalam api. Tiba-tiba berucaplah sang anak, “Bersabarlah wahai ibu, sesungguhnya engkau di atas kebenaran.”

Inilah di antara banyak kisah yang memberikan gambaran tentang keadaan seorang mukmin yang senantiasa bersandar kepada Allah untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahannya. Semogalah kisah ini memberikan bekas kebaikan yang tertanam dalam jiwa anak-anak.

Wallahu a’lamu bish shawab.

1 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/2043 dan Al-Misykat no. 5302.
2 Diambil dari www.binothaimeen.com
3 Diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahihnya no. 3005

Akankah Amalku Di Terima ?


Penulis: Ustadz Abdurrahman Lombok

Beramal soleh memang penting kerana merupakan kesan dari keimanan seseorang. Namun yang tidak kurang pentingnya adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justeru membuat Allah murka kerana tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam lubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya memerlukan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata'ala. Akankah kita dapat menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman: 
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh, dan orang-orang yang saling menasihati dalam kebaikan dan saling menasihati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3) 

Sumpah Allah Subhanahuwata'ala dengan masa menunjukkan bahawa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang mampu memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal soleh. Dan dengan waktu pula seseorang juga mampu terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata'ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata'ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan 
Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika mengatakan dirinya beriman, maka seseorang memiliki kesan dari ucapan yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Kesan daripada iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas redha Allah termasuk hasil daripada iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan hasil daripada iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah
صلی الله عليه وسلم  tentang perkara-perkara ghaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan keberkesanan iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah صلی الله عليه وسلم  juga merupakan kesan daripada iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan kesan daripada iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cubaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan kesan dari iman itu sendiri.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an: 
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahawa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3) 

Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahawa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Kerana kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), nescaya tidak dapat dibezakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan dapat dibezakan antara yang benar dan yang salah.”

Rasulullah
صلی الله عليه وسلم  bersabda: 
“Orang yang paling keras cubaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993) 

Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki kesan dan hasil yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal 

Amal merupakan kesan daripada iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tentangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an: 
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada syurga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133) 

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju syurga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata'ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang akan menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada syurga.”

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata'ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan syurga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

Allah berfirman: 
“Berlumba-lumbalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148) 

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlumba-lumba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, kerana berlumba-lumba mencakupi mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlumba-lumba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah
صلی الله عليه وسلم  bersabda: 
“Bersegeralah kalian menuju amal soleh kerana akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di petang harinya menjadi kafir dan jika di petang hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelong agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi) 

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal soleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir zaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170 

Kerana kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita perlukan dengan amal soleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153) 

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh kesulitan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal 


Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata'ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah صلی الله عليه وسلم  di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:

Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari redha Allah Subhanahuwata'ala. 
Allah Subhanahuwata'ala berfirman; 
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5) 

Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda: 
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim) 

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahawa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata'ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah صلی الله عليه وسلم . Beliau bersabda: 
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha) 

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahawa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah صلی الله عليه وسلم . Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah صلی الله عليه وسلم .
Jika istilah “yang penting niat” itu benar nescaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata'ala dengan dalil yang penting niatnya. 


Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah ) dan bahkan kesyirikan tidak akan kita salahkan, kerana kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya. 


Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata'ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawapannya adalah tidak. 


Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh kerana itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekadar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata'ala berfirman: 

“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2) 

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata'ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396 



Allah Subhanahuwata'ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah صلی الله عليه وسلم , sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri. 

Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah - Muhammadarrasulullah.


Wallahu a’lam.