Pages

Keberkahan dan Manfaat Hujan, Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Allah telah menurunkan hujan sebagai rahmat di saat diperlukan oleh seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syuura: 28). Yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah hujan sebagaimana dikatakan oleh Maqotil.[1]


Keberkahan dan Manfaat Hujan

Hujan adalah air yang diturunkan dari langit dan penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaaf: 9). Yang dimaksud keberkahan di sini adalah banyaknya kebaikan.[2]

Di antara keberkahan dan manfaat hujan adalah manusia, haiwan dan tumbuh-tumbuhan sangat memerlukannya untuk keberlangsungan hidup, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al Anbiya’: 30). Al Baghowi menafsirkan ayat ini, “Kami menghidupkan segala sesuatu menjadi hidup dengan air yang turun dari langit yaitu menghidupkan haiwan, tanaman dan pepohonan. Air hujan inilah sebab hidupnya segala sesuatu.”[3]


Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan

Pertama: Takut datangnya adzab ketika mendung.

Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khuatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah.”[4]

Kedua: Do’a ketika turun hujan sebagai rasa syukur pada Allah.

’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[5]

Ketiga: Turunnya hujan, kesempatan terbaik untuk memanjatkan do’a.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[6] mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : (1) Bertemunya dua pasukan, (2) Menjelang shalat dilaksanakan, dan (3) Saat hujan turun.”[7]

Keempat: Do’a ketika terjadi hujan lebat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a, “Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk meruosak kami. Ya Allah, turunkanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].”[8]

Kelima: Do’a ketika terjadi angin kencang.

Dianjurkan bagi seorang muslim ketika terjadi angin kencang untuk membaca do’a berikut sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan ketika itu, “Allahumma inni as-aluka khoirohaa wa khoiro maa fiihaa wa khoiro maa ursilat bihi, wa a’udzu bika min syarrihaa wa syarri maa fiiha wa syarri maa ursilat bihi (Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu baiknya angin ini dan kebaikan yang ada padanya, dan aku memohon kebaikan dari yang diutus dengannya. Aku berlindung kepada-Mu dari buruknya angin ini, dan keburukan yang ada padanya dan aku berlindung dari keburukan yang diutus dengannya)”[9]

Keenam: Do’a ketika mendengar suara petir.

Apabila ’Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian mengucapkan, “Subhanalladzi yusabbihur ro’du bi hamdihi wal mala-ikatu min khiifatih” (Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya kerana rasa takut kepada-Nya).”[10]

Ketujuh: Mengambil berkah dari air hujan.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga tersiram hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kerana hujan ini baru saja Allah ciptakan.”[11]

An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.”[12]

Kelapan: Dianjurkan berwudhu dengan air hujan.

Dalilnya, “Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”[13]

Kesembilan: Tidak boleh mencela hujan.

Sebahagian orang sering keluar dari mulutnya celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”. Ketahuilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasihatkan kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela waktu dan angin kerana kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman (yang ertinya), “Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.”[14] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.”[15]

Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.[16]

Kesepuluh: Do’a setelah turun hujan

Do’anya adalah, “Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih (Kita diberi hujan kerana kurnia dan rahmat Allah).”[17]

Keringanan Ketika Turun Hujan

Pertama: Bolehnya meninggalkan shalat jama’ah di masjid ketika turun hujan.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. …”[18]

An Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan, ”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur[19]. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mahu, silakan mengerjakan shalat di rihal (kendaraannya) masing-masing.”[20]

Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah menyebutkan salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah adalah cuaca yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu Baththol yang menyatakan bahawa hal ini adalah ijma’ (kesepakatan para ulama).[21]

Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, ada beberapa lafadz tambahan adzan ketika kondisi hujan, dingin, berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar :

Alaa shollu fir rihaal artinya Hendaklah shalat di rumah (kalian)
Alaa shollu fi rihaalikum artinya Hendaklah shalat di rumah kalian
Sholluu fii buyutikum artinya Sholatlah di rumah kalian
An Nawawi mengatakan, “Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan kerana terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, mengucapkannya sesudah adzan lebih baik agar lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada.”[22]


Kedua: Bolehnya menjama’ shalat ketika hujan deras.

Dari Abu Az Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau berkata, ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.”[23] Yang meriwayatkan dari Abu Az Zubair adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam Malik mengatakan, ”Aku menyangka bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.”

Al Baihaqi mengatakan, ”Begitu pula hadits ini diriwayatkan oleh Zuhair bin Mu’awiyah dan Hammad bin Salamah, dari Abu Az Zubair, juga dikatakan, ”(Beliau menjama’) bukan kerana keadaan takut dan bukan pula kerana safar. Akan tetapi dalam riwayat tersebut tidak disebutkan shalat Maghrib dan ’Isya dan hanya disebut jama’ tersebut dilakukan di Madinah.”[24] Ertinya, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan jama’ ketika mukim (tidak bepergian) dalam kondisi hujan.

Beberapa point yang perlu diperhatikan:

Yang diperintahkan ketika hujan adalah menjama’ shalat (menggabungkan dua shalat) tanpa perlu mengqoshor.[25]
Jama’ dilakukan dengan imam di masjid dan bukan dilakukan di rumah.[26]
Apabila shalat telah dijama’ pada waktu pertama dari dua shalat, lalu setelah dijama;’, hujan tersebut reda, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.[27]
Boleh menjama’ shalat zhuhur dan ashar atau maghrib dan Isya. Yang paling afdhol jika dilakukan dengan jama’ taqdim.[28]
Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang boleh membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.[29]
Demikian panduan ringkas mengenai beberapa amalan dan keringanan dari syariat ketika turun hujan. Semoga kita dimudahkan untuk mengamalkannya walaupun di tengah keterasingan. Hanya Allah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal][30]

_____________

[1] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 5/322, Mawqi’ At Tafasir
[2] Tafsir Al Baghowi (Ma’alimut Tanzil), Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi, 7/357, Dar Thoyibah, cetakan keempat, 1417 H
[3] Tafsir Al Baghowi, 5/316
[4] Lihat Adabul Mufrod no. 686. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[5] HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523
[6] Al Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 2/294, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, 1405 H
[7] Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026
[8] HR. Bukhari no. 1014
[9] HR. Muslim no. 899
[10] Lihat Adabul Mufrod no. 723. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[11] HR. Muslim no. 898
[12] Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392 H
[13] HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil no. 679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[14] HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah
[15] HR. Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[16] Faedah dari guru kami Ustadz Abu Isa hafizhohullah. Lihat buah pena beliau “Mutiara Faedah Kitab Tauhid”, hal. 227-231, Pustaka Muslim, cetakan pertama, Jumadal Ula 1428 H
[17] HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al Juhaniy
[18] HR. Muslim no. 699
[19] Pendapat yang lebih kuat, shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain –bagi kaum pria-
[20] Syarh Muslim, 5/207
[21] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 1/234-235, Mawqi’ Ya’sub
[22] Syarh Muslim, 5/207
[23] HR. An Nasa-i no. 601. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[24] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24/73
[25] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/292, Mawqi’ Al Ifta’
[26] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhutsil Al ‘Ilmiyyah wal Iftaa’, 8/135, Darul Ifta’
[27] Lihat Al Jami’ Liahkamish Sholah, Mahmud ‘Abdul Latif ‘Uwaidhoh, 2/ 497-499, Daruk Wadhoh, ‘Amman, Yordania, cetakan ketiga, tahun 2004
[28] Syarhul Mumthi’, 2/285
[29] Al Mughni, 2/117
[30] Lihat tulisan ini selengkapnya di www.muslim.or.id dengan judul “Musim Hujan Telah Tiba”.

Muhasabah Diri: Nasihat Penutup Tahun untuk Persediaan Di Tahun Baru


NASIHAT PENUTUP TAHUN

Penulis: Dr Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Berkata sebahagian ahli hikmah,

“Bagaimana mampu  bergembira seseorang yang harinya membinasakan bulannya dan bulannya membinasakan tahunnya dan tahunnya membinasakan umurnya. Bagaimana mampu  bergembira seseorang yang umurnya menggiringnya kepada ajalnya dan kehidupannya menggiringnya kepada kematiannya.”

Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan sifat fana bagi dunia ini dan mengkhabarkan bahawa akhirat adalah negeri abadi, dengan kematian dia membinasakan usia yang panjang. Saya memuji-Nya atas segenap nikmat-Nya yang tercurah dan saya bersaksi bahawa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah semata, Dzat Yang Menundukkan segala sesuatu. Dan saya bersaksi bahawa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dia telah memperingatkan dari condong kepada negeri ini, shalawat serta salam semoga tercurah kepada beliau dan keluarganya beserta para shahabatnya yang taat dan suci sepanjang siang dan malam.

Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan fikirkanlah dunia kalian dan betapa cepat dia berlalu. Bersiap-siaplah menyambut akhirat dan kengeriannya. Setiap bulan yang menghampiri seseorang semakin menyeret dia mendekati ajal dan akhiratnya.

Sebaik-baik kalian adalah yang panjang umurnya lagi baik amalannya, dan seburuk-buruk kalian adalah yang panjang  umurnya lagi buruk amalannya. Tidak ada selain apakah seseorang diberi pahala atas ketaatan dan kebaikannya atau diberi dengan dosa atas keburukan dan kemaksiatannya, kecuali apabila dikatakan fulan telah wafat.

Alangkah dekatnya kehidupan dengan kematian. Dan segala yang akan datang pasti datang. Dan kalian sekarang akan meninggalkan tahun yang telah usai dan usia kalian pun semakin berkurang dan akan menyambut tahun yang kalian tidak tahu apakah kalian akan menyelesaikannya ataukah tidak?!

Maka hisablah diri-diri kalian apa yang telah kita perbuat pada tahun yang lalu? Apabila kebaikan, bersyukurlah kepada Allah dan sambunglah kebaikan itu dengan kebaikan.

Sedangkan apabila buruk, bertaubatlah kepada Allah darinya dan isi sisa-sisa usia kita (dengan kebaikan) sebelum luput darinya.

Berkata Maimun bin Mihran, “Tidak ada kebaikan dalam kehidupan kecuali bagi orang yang bertaubat atau seseorang yang beramal shalih mencari derajat yang tinggi.” Yakni orang yang bertaubat, kesalahan-kesalahannya gugur disebabkan taubatnya dan orang yang beramal shalih bersungguh-sungguh dalam menggapai derajat yang tinggi dan selain mereka merugi. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala,

“Demi masa,sesungguhnya manusia benar-benar berada di dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling nasihat menasihati di dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati di dalam kesabaran.”

Pada ayat ini Allah bersumpah dengan waktu yang merupakan zaman dimana manusia tinggal, bahawa setiap manusia berada di dalam
kerugian. Kecuali mereka yang memiliki 4 sifat yang disebutkan;iman, amal shalih, saling nasihat-menasihati di dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati di dalam kesabaran di atas kebenaran. Surat yang agung ini merupakan tolok ukur amal perbuatan, dengannya seorang mukmin menimbang dirinya sehingga jelaslah baginya apakah dia termasuk golongan yang beruntung atau merugi. Oleh kerana itu Al Imam Asy-Syafi’i berkata, “Seandainya setiap orang mentadabburi surat ini pastilah cukup baginya.”

Dan sebahagian ulama berkata, “Dahulu orang-orang yang shiddiq merasa malu kepada Allah apabila di hari itu (kualiti) amalannya
seperti hari semalam.”

Hal ini menunjukkan bahawa mereka tidak rela hari berganti kecuali amalan kebajikannya bertambah. Dan mereka malu apabila tidak ada kebajikan yang bertambah dan mereka menganggap hal itu sebagai kerugian.

Maka dengan bertambah usia seorang mukmin bertambah pula kebaikannya. Barangsiapa keadaannya seperti ini kehidupan lebih baik darinya daripada kematian. Dan pada doa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,


“Ya Allah jadikanlah kehidupan sebagai penambah kebaikan bagiku dan (jadikanlah) kematian sebagai penghenti keburukan
dariku”. HR Muslim.


Dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Rhadiyallahu 'Anhu, bahawa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“Tidaklah seseorang wafat kecuali dia menyesal, apabila dia orang yang baik dia menyesal kenapa tidak lebih baik dan apabila dia orang jahat dia menyesal kenapa dia tidak bertaubat.” Dan ditampakkan orang-orang yang telah wafat di dalam tidur, ia berkata, “Tidak ada pada kami yang lebih banyak daripada penyesalan dan tidak ada pada kalian yang lebih banyak daripada kelalaian.” Dan sebahagian mereka melihat di dalam tidurnya, ia berkata, “Kami menyesal atas suatu yang besar, kami mengetahui tapi kami tidak berbuat sedangkan kalian berbuat tapi tidak mengetahui. Sungguh demi Allah sekali tasbih atau dua kali atau satu rakaat atau dua rakaat yang terdapat di lembaran (amalan kami) lebih kami cintai daripada dunia dan seisinya.”


Wahai hamba-hamba Allah, sesungguhnya setiap amalan tergantung penutupannya.Barangsiapa berbuat baik pada sisa umurnya akan diampuni kesalahannya yang telah lalu, dan barangsiapa berbuat buruk pada sisa umurnya akan dihukum atas kesalahan yang telah lalu dan kesalahan di sisa umurnya. Orang-orang yang telah wafat menyesal atas apa yang telah luput dari berbagai kesenangan
dunia yang fana. Apa yang telah berlalu dari dunia walaupun pada masa yang lampau sungguh telah hilang kelezatannya dan tinggal sisa-sisanya dan apabila kematian telah datang seolah-olah itu semua tidak ada. Allah Ta’ala berfirman, “Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, nescaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya. (QS. Asy-Syuara’:205-207)

Dan pada Shahih Muslim dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Allah mengangkat uzur dari hambanya yang Dia panjangkan umurnya sampai enam puluh tahun.” Dan di dalam Sunan At-Tirmidzi, “Usia ummatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit dari mereka yang melewati itu.”

Wahai yang bergembira dengan bertambahnya usia, sesungguhnya engkau bergembira atas berkurangnya usiamu. Berkata sebahagian ahli hikmah, “Bagaimana mampu  bergembira seseorang yang harinya membinasakan bulannya dan bulannya membinasakan tahunnya dan tahunnya membinasakan umurnya.


Bagaimana mampu  bergembira seseorang yang umurnya menggiringnya kepada ajalnya dan kehidupannya menggiringnya kepada kematiannya.”

Akan didatangkan di hari kiamat seseorang yang paling panjang umurnya di dunia dari golongan kelas atas yang menelantarkan
ketaatan kepada Allah dan melakukan kemaksiatan- kemaksiatan, kemudian dicelup di neraka sekali celup, kemudian dikatakan padanya, “Apa engkau pernah merasakan kesenangan di dunia sekali saja? Apa pernah engkau melalui kegembiraan di dunia sebentar saja? Maka ia berkata, “Sungguh tidak pernah wahai Rabb! Lupa segala macam kenikmatan dunia pada awal dirasakan padanya azab. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang diberikan pada mereka kesempatan hidup kemudian mereka telantarkan dalam kelalaian dan kesenangan. Dan diberikan pada mereka harta kemudian mereka hambur-hamburkan di jalan syahwat-syahwat yang haram. Ketika mereka merasakan balasan mereka yang pertama, mereka lupa setiap apa yang pernah mereka miliki di dunia dari waktu dan harta dan semua apa yang pernah mereka rasakan dari kelazatan dan syahwat. Merekalah orang-orang yang
memusatkan akal-akalnya dan aktivitinya serta perhatiannya untuk dunia mereka dan mengikuti syahwat perut dan kemaluan mereka dan meninggalkan kewajiban terhadap Rabb mereka dan melupakan akhirat mereka. Hingga datang kepada mereka kematian sehingga mereka keluar dari dunia dalam keadaan tercela, merugi dari kebaikan-kebaikan, sehingga bersatulah pada mereka sakratulmaut dan ruginya kematian. Maka mereka pun menyesal di saat penyesalan tidak lagi bermanfaat, “dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan,
"Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini." Maka, pada hari itu tiada seorangpun
menyiksa seperti siksa-Nya, (QS.Al Fajr: 25)

Maka fikirkanlah wahai manusia sekalian! Dengan habisnya tahun habis pula umur seseorang dan fikirkanlah, dengan berpindahnya tahun perpindahan ke negeri akhirat.

“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.(Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu.Dan barangsiapa yang mengerjakan amal yang soleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk syurga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab. (QS. Ghafir: 39-40)

Sumber :
Sahab.net

http://www.ahlussunnah/-jakarta.com/artikel_detil.php?id=411