Pages

Akankah Amalku Di Terima ?


Penulis: Ustadz Abdurrahman Lombok

Beramal soleh memang penting kerana merupakan kesan dari keimanan seseorang. Namun yang tidak kurang pentingnya adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justeru membuat Allah murka kerana tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam lubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya memerlukan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata'ala. Akankah kita dapat menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman: 
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh, dan orang-orang yang saling menasihati dalam kebaikan dan saling menasihati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3) 

Sumpah Allah Subhanahuwata'ala dengan masa menunjukkan bahawa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang mampu memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal soleh. Dan dengan waktu pula seseorang juga mampu terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata'ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata'ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan 
Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika mengatakan dirinya beriman, maka seseorang memiliki kesan dari ucapan yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Kesan daripada iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas redha Allah termasuk hasil daripada iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan hasil daripada iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah
صلی الله عليه وسلم  tentang perkara-perkara ghaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan keberkesanan iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah صلی الله عليه وسلم  juga merupakan kesan daripada iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan kesan daripada iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cubaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan kesan dari iman itu sendiri.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an: 
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahawa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3) 

Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahawa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Kerana kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), nescaya tidak dapat dibezakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan dapat dibezakan antara yang benar dan yang salah.”

Rasulullah
صلی الله عليه وسلم  bersabda: 
“Orang yang paling keras cubaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993) 

Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki kesan dan hasil yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal 

Amal merupakan kesan daripada iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tentangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an: 
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada syurga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133) 

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju syurga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata'ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang akan menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada syurga.”

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata'ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan syurga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

Allah berfirman: 
“Berlumba-lumbalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148) 

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlumba-lumba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, kerana berlumba-lumba mencakupi mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlumba-lumba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah
صلی الله عليه وسلم  bersabda: 
“Bersegeralah kalian menuju amal soleh kerana akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di petang harinya menjadi kafir dan jika di petang hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelong agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi) 

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal soleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir zaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170 

Kerana kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita perlukan dengan amal soleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153) 

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh kesulitan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal 


Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata'ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah صلی الله عليه وسلم  di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:

Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari redha Allah Subhanahuwata'ala. 
Allah Subhanahuwata'ala berfirman; 
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5) 

Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda: 
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim) 

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahawa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata'ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah صلی الله عليه وسلم . Beliau bersabda: 
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha) 

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahawa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah صلی الله عليه وسلم . Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah صلی الله عليه وسلم .
Jika istilah “yang penting niat” itu benar nescaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata'ala dengan dalil yang penting niatnya. 


Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah ) dan bahkan kesyirikan tidak akan kita salahkan, kerana kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya. 


Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata'ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawapannya adalah tidak. 


Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh kerana itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekadar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata'ala berfirman: 

“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2) 

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata'ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396 



Allah Subhanahuwata'ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah صلی الله عليه وسلم , sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri. 

Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah - Muhammadarrasulullah.


Wallahu a’lam.