Pages

Mutiara Ilmu Islam : Imam Sufyan Bin ‘Uyainah Rahimahullah(Kunikahi dia kerana Agamanya)

Orang alim ini dilahirkan pada tahun 107 H pada pertengahan bulan Syawwal, dan ajal menjemputnya pada hari Sabtu, 1 Rajab 198 H. Nasab lengkapnya, Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imran al Kufi. Dia dikenal dengan panggilan Abu Muhammad.

Ayahnya seorang pegawai pada masa Khalid bin Abdillah Al Qasri. Tatkala Khalid diberhentikan dari jabatan Gabenor Iraq dan digantikan oleh Yusuf bin Umar ats Tsaqafi, pejabat baru ini mencari-cari para staff pada masa pemerintahan Khalid, sehingga mereka berlarian untuk menyembunyikan diri. ‘Uyainah, Ayah dan Sufyan kecil, melarikan diri sampai ke kota Mekkah dan akhirnya memutuskan untuk tinggal disana.

Ketika ia mencapai usia lima belas tahun, ayahnya memanggil, seraya berpesan : “Wahai Sufyan! Masa kanak-kanak sudah lepas darimu, maka kejarlah kebaikan, supaya engkau termasuk orang-orang yang mengejarnya. Jangan tertipu dengan pujian orang-orang yang menyanjungmu dengan pujian yang Allah mengetahui, bahawa keadaanmu berlawanan dengan itu. Sebab, tidak ada orang yang berkata baik kepada orang lain tatkala ia sedang senang, kecuali ia akan berkata keburukan kepadanya serupa ketika ia sedang dilanda amarah. Nikmati besendirian daripada bergaul dengan kawan-kawan yang buruk. Jangan engkau alihkan prasangka baikku kepadamu kepada prasangka lain. Dan tidak akan ada orang yang berbahagia bersama dengan ulama, kecuali orang-orang yang mentaati mereka”.

Mendengar nasihat ayahnya ini Sufyan berkata dalam hati : ”Sejak itu, aku menjadikan pesan Ayah sebagai arah kompasku, berjalan bersamanya, tidak menyimpang darinya”.

Begitulah yang ia jalani. Sejak usia dini, ulama besar ini telah menyibukkan diri pada pendalaman ilmu din(agama). Tepatnya pada tahun 119 H.

Ibnu ’Uyainah mengisahkan tentang dirinya : ”Aku keluar menuju masjid, dan aku melihat-lihat halaqah-halaqah (majlis ilmu) yang ada. Bila aku lihat ada kumpulan ulama dan orang-orang tua, maka aku menghampirinya”.

Dia menceritakan: ”Aku duduk di majlis ilmu Ibnu Syihab dalam usia enam belas tahun tiga bulan”.

Salah satu yang menunjukkan keberuntungannya, sebanyak lapan puluh ulama besar dari kalangan tabi’in sempat ia jumpai. Misalnya, ’Amr bin Dinas, az Zuhri, Muhammad bin al Munkadir, al A’masy, Sulaiman at Taimi, Humaid ath Thawil.

Tentang kekuatan hafalannya, ia berkata, ”Aku tidak pernah menulis sesuatu, kecuali sudah aku hafal sebelum aku menuliskannya.”

Berkat pergaulannya dengan ulama-ulama besar, telah membentuk dirinya menjadi peribadi yang teguh, luas ilmunya dan mendalam. Ia menjadi nara sumber dalam berbagai permasalahan dan tempat curahan isi hati.

Yahya bin Yahya an Naisaburi menceritakan: ”Suatu hari, ada seorang lelaki mendatangi Sufyan dengan berkata : ’Wahai , Abu Muhammad (yang dimaksud adalah Sufyan). Aku ingin mengadukan kepadamu tentang keadaan isteriku. Aku menjadi lelaki yang paling hina dan rendah dimatanya”.

Maka Sufyan menggeleng-gelengkan kepala hairan, dan kemudian berujar : ”Mungkin, keadaan itu muncul karena engkau menikahinya untuk meraih kehormatan?”

Lelaki itu pun mengakuinya: ”Ya, betul wahai Abu Muhammad”.

Sufyan lalu berpesan: ”Barang siapa pergi kerana mencari kehormatan, nescaya akan diuji dengan kehinaan. Barangsiapa mengerjakan sesuatu lantaran dorongan harta, nescaya akan diuji dengan kefakiran. Barang siapa bergerak kerana dorongan din(agama), nescaya Allah akan menghimpun kehormatan dan harta bersama dinnya(agamanya)”.

Berikutnya, Sufyan mulai berkisah :

”Kami adalah empat bersaudara, Muhammad, Imran, Ibrahim, dan aku sendiri. Muhammad adalah abang sulung., Imran anak bongsu. Sedangkan aku berada di tengah-tengah. Tatkala Muhammad ingin menikah, dia menginginkan kemuliaan nasab(keturunan). Maka ia menikahi wanita yang lebih tinggi status sosialnya. Kemudian Allah mengujinya dengan kehinaan.

Sedangkan Imran, (saat menikah) ingin mendapatkan harta. Maka ia menikahi wanita yang lebih kaya dari dirinya. Allah kemudian mengujinya dengan kemiskinan. Keluarga wanita mengambil seluruh yang dimilikinya, tidak menyisakan sedikitpun.

Aku pun merenungkan nasib keduanya. Sampai akhirnya Ma’mar bin Rasyid datang menghampiriku. Aku pun berbincang dengannya. Aku ceritakan kepadanya peristiwa yang menimpa para saudaraku. Ia mengingatkanku dengan hadits Yahya bin Ja’daj dan hadits ’Aisyah.

Hadits Yahya bin Ja’dah yang dimaksud, yaitu sabda Nabi Shollallahu ’alayhi wa sallam:

    ”Wanita dinikahi kerana empat perkara: kerana hartanya, status sosialnya(keturunan), kecantikannya dan dinnya(agamanya). Carilah wanita yang beragama, nescaya tanganmu akan beruntung”.

Sedangkan hadits ’Aisyah, Nabi Shollallahu ’alayhi wa Sallam bersabda :

    Wanita yang paling besar berkahnya adalah wanita yang paling ringan beban pembiayaannya”

Maka, aku memutuskan untuk memilih bagi diriku (wanita yang) memiliki din(agama) dan beban yang ringan untuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shollallahu ’alayhi wa sallam. Allah menghimpunkan bagiku kehormatan dan limpahan harta dengan sebab agamanya”.

Itulah salah satu hikmah yang muncul dari lisannya. Tidak sedikit untaian hikmah dari Sufyan yang mencerminkan kedekatannya dengan Al Khaliq, Allah Subhaanahu wa Ta’Ala.

Sufyan bin ’Uyainah pernah ditanya tentang hakikat wara’, Dia pun menjelaskan, wara’ adalah keinginan untuk mendalami ilmu din(agama) yang menjadi sarana untuk mengenal seluk-beluk wara’. Sebahagian orang menganggap sikap wara’ tercermin pada sikap diam dalam waktu yang lama dan sedikit bicara, padahal tidak demikian. Menurut kami, sesungguhnya orang yang berbicara lagi alim, itu lebih afdhal dan lebih wara’ dibandingkan lelaki yang jahil lagi diam.

Sufyan bin ’Uyainah juga memiliki hikmah yang menunjukkan kedalaman ilmunya. Dia menyatakan, permisalan ilmu adalah bagaikan negeri kufur atas negeri Islam. Apabila penganut Islam meninggalkan jihad, nescaya orang-orang kafir akan datang dan mengambil Islam. Jika orang-orang meninggalkan ilmu, maka mereka menjadi manusia-manusia bodoh.

Tentang pentingnya menyampaikan ilmu yang sudah diketahui, dia berkata : ”Tidaklah disebut (sebagai) alim orang yang mengetahui kebenaran dan keburukan. Tetapi, orang alim sejati ialah orang yang mengetahui kebaikan dan mengikutinya, serta mengetahui keburukan dan menjauhinya”.

Semoga Allah menganugerahinya dengan rahmat yang luas dan menempatkannya di syurga-Nya yang tertinggi.

Sumber daripada : http://sahabatmu-semuanya.abatasa.com/post/detail/5216/sufyan-bin-%E2%80%98uyainah-rahimahullahkunikahi-dia-karena-agamanya